Merencanakan Melahirkan

Bismillahirahmanirrahim

Hari ini Ayu mau berbagi pengalaman masa lalu yang membuat ayu berpikir matang-matang untuk masa depan, apa itu? Birth plan, alias rencana melahirkan yang InsyaAllah akan due date pada pertengahan bulan Mei 2017. Apa sih pengalaman masa lalu yang signifikan itu? Kok sampai mempengaruhi cara pandang dan mengambil keputusan?

Pengalaman ini berawal waktu saya memulai proses profesi keperawatan 2013 lalu. Saat itu di stase keperawatan dasar dan dasar keperawatan saya mendapatkan kesempatan untuk partus padang seorang kakak pembimbing klinik yang melakukan proses kelahiran di rumah sakit tempat beliau bekerja dan tempat saya pendidikan saat itu. Sebagai mahasiswa, kesempatan ini barang pasti jadi kesempatan berharga dan tidak akan saya sia-sia kan. Hari yang direncanakanpun tiba, saat itu saya dinas pagi, saya bela-belain partus pandang sampai harus pulang ke rumah jam 11 malam.

Saat itu kondisinya si kakak menjalani proses kelahiran dengan ditangai oleh empat orang bidan, suami, teman-teman datang menjenguk silih berganti, dan saya yang menclok di dalam ruangan VK. Jadi dialam ruangan VK yang kecil itu ada 8 orang dong. Oh my God, itu banyak banget.

Karena itu partus pandang pertama saya, hemmm I can’t control myself. Sure, proses kelahiran bikin speechless banget, Truly amazing and miracle. Saat bayi crowning keluar jalan lahir, tiba2 napas saya cepat dan tidak teratur, tubuh saya tremor, saya gemetaran, saya takjub. Ya Allah inilah proses melahirkan sesungguhnya, MasyaAllah, saat bayi melakukan putaran paksi dalam dan putaran paksi luar dengan begitu alaminya, semuanya terasa penuh control dan begitu apa adanya, indah begitu indah.

Dari situ, saya punya gambaran melahirkan, dari partus pandang pertama yang saya ikuti saya mengambil beberapa kesimpulan. Pertama melahirkan itu haru ngeden, tapi ngedennya dengan arahan dari bidan yang memimpin persalinan, mengedan dengan konsentrasi abdomen bukan focus pada suara ditenggorokan atau memejamkan mata dengan menekan bola mata. Kedua, masinis dari proses ini adalah bidan atau dokter, lokomotifnya adalah Ibu, dan gerbongnya adalah Bayi. Terakhir, dalam setiap kelahiran akan nada resiko rupture perineal baik alamaiah maupun episiotomy. Yah, kurang lebih begitu kesimpulan saya saat itu.

Gambaran dan pemhaman tentang proses melahirkan semakin mengakar dan jelas bahkan menjadi lebih horror ketika saya masuk stase keperawatan Maternitas waktu profesi. Saat tu saya ditempatkan di rumah sakit pendidikan berbentuk RSUD kota Jakarta, yaitu sebagai rujukan utama sebelum dirujuk ke rumah sakit rujukan nasional. Demi Tuhan, ini membuat saya trauma.
Selama dua minggu saya ditempatkan di bangsal VK tempat dimana proses melahirkan bukan lagi menjadi precious moment, private, and intimate. Tempat dimana proses melahirkan sudah layaknya kejadian biasa dan tak terlalu istimewa, penuh sesak tanpa privasi, dan tidak ada pendampingan suami, atau keluarga dekat. Coba dibanyangkan, karena ini adalah rumah sakit rujukkan, maka pasiennya banyak banget, dalam satu kali shift saja ada sekitar lima sampai tujuh ibu dalam proses melahirkan, ada sekitar dua puluh ibu post partum di ruang sebelah. Dan bidan yang berjaga hanya dua orang.

No offense, Saya ngerti, ini memang kenyataan yang harus dihadapi oleh layanan kesehatan Indonesia, dimana jumlah ibu yang melahirkan dengan komplikasi jumlahnya cukup banyak dan tidak sebanding dengan tenaga medis. Jadilah mereka di baringkan berbaris-baris diatas tempat tidur rumah sakit dengan suasana terang, bau karbol bekas membersihkan proses kelahiran sebelumnya, harus tidur terus, keluarga tidak boleh masuk menemani, dilarang teriak-teriak. Melahirkan harus posisi lithotomy, dan yang paling bikin saya menyesal, mohon maaf sekali kepada Ibu-ibu ini adalah, mereka harus melahirkan di rumah sakit pendidikan. Rumah sakit pendidikan berarti ada banyak mahasiswa bidang medis berpraktik disana, ada calon dokter, ada calon perawat, ada calon bidan, dan itu jumlahnya banyak banget, jadi privasi ibu aga di nomor duakan, misalnya saja proses vaginal tusse, nah itu bisa dilakukan berkali-kali, sekali sama calon dokter, sekali sama calon perawat, sekali sama calon bidan, dan final sekali lagi sama bidan pembimbing untuk memastikan kebenaran anamnessa para calon-calon tenaga medis ini. Gimana ya? Saya juga ga bisa berbuat apa-apa, mungkin ini memang nasib si Ibu untuk menjadi subjek pendidikan medis.

Pada saat-saat ibu sudah menunjukan tanda persalinan kala II, seperti perineum menonjol dan vulva terbuka, berbondong-bondong para calon-calon tenaga medis ini membantu, termasuk saya pastinya. Ada yang mengambil peran sebagai pimpinan persalinan, menangkap bayi, melahirkan placenta, menjahit perineum, asuhan ibu post-partum, pendampingan IMD, dan tim hore yang menyemangati ibu untuk push dan breath. Kalo dikonversi ke dunia olah raha,,,mungkin ibu melahirkan itu sepeti sedang panco ya, terus kita-kita calon tenaga medis ini sebagai penontonnya. Dan semua bersorak soray saat bayi lahir layaknya atlet panco yang menang menjatuhkan tangan lawannya.

Ramai sekali bukan? Yah begitulah kejadiannya, pengalaman itu membuat saya enggan untuk melahirkan penuh dengan prosedur tak perlu, mengtamakan kemudahan dan kecepatan, dan menomor duakan fitrah. Ya Allah Ayu pingin melahirkan dengan damai, nyaman, dan alamiah.
Dari motivasi itu, mulailah Ayu cari tau tentang Gentle birth, yaitu persalinan yang lembut, aman buat jiwa dan raga, dan minim trauma, baik untuk ibu, bayi, dan support system sekelilingnya. Intinya harus reclaim the power. Mengembakikan fitrahnya kelahiran yang alami tanpa ada tambahan prosedur yang tidak perlu. Merubah kemudi menjadi semestinya, yaitu bayi sebagai masinisnya, dia yang menentukan lahir kapan, dimana, cara apa, posisi apa. Ibu sebagai lokomotifnya yang menyediakan bahan bakar yang alami, cukup kayu bakar, jangan ditambah tambah bensin yang ga perlu. Dan tenaga keshatan sebagai gerbongnya, yah namanya gerbong ya ikut maunya masinis aja.

Bisa ga ya? Ya nggak tau, yang bisa Ayu lakukan sekarang adalah memperbesar peluan proses melahirkan yang dibayangkan itu terwujud. Berusaha sebaik mungkin agar kehamilan ini sehat dengan makan dan minum dengan nutrisi seimbang, olah raga teratur, control setiap bulan, mengkomunikasikan keinginan ini ke suami dan keluarga, memilih pusat layanan kesehatan yang mengakomodasi keinginan ini, dan yang paling penting adalah berdoa kepada Allah agar dikabulkan doa dan keinginan ini.

Tetap, ga baik buat memaksakan jika tidak memungkinkan. Plan melahirkan dengan metode Caesar juga harus disiapkan, karena apapun bisa saja terjadi pas mau due date. Kalo tiba-tiba tekanan darah naik, atau berat bayi besar, ketuban pecah dini, distosia perineum, meconium muncul, bayinya jadi gemeli, dan kejadian resiko tinggi lainnya terjadi, maka harus besar hati dan lapang dada juga buat ditindak secara medis. Ini berarti Allah telah menakdirkan hal tersebut terjadi, dan si bayi sebagai masinis maunya lahir lewat jalan medis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Bersalin Hj. Srie Dody Gunung Batu Bogor

Kontrol Hamil ke Puskesmas

Kembali Melahirkan di Rumah bersalin H. Srie Dody Gunung Batu